Diantara karunia Tuhan yang paling besar bagi manusia ialah kemampuan berbicara (dengan bahasa masing-masing umat). Kemampuan untuk mengungkapkan isi hatinya dengan bunyi yang dikeluarkan dari mulutnya. Berbicara telah membedakan manusia dari makhluk lain. Kambing dapat mengembek, tetapi ia tidak mampu menceritakan pengalaman masa kecilnya kepada kawan-kawannya. Malaikat dan jin mungkin dapat berbicara, tetapi itu hanya kita saksikan dalam cerita lama. Dengan berbicara, manusia mengungkapkan dirinya, mengatur lingkungannya, dan pada akhirnya menciptakan bangunan budaya insani. Lama sebelum lambang-lambang tulisan digunakan, orang sudah menggunakan bicara (bahasa) sebagai alat komunikasi (Jalaludin Rahmat: 1992).
Demikian gambaran urgensi bahasa, yang dalam bahasa Kang Jalal adalah “bicara”. Dalam mencapai kesepakatan diantara umat, suku, golongan, bangsa yang berbeda juga ditentukan dengan bagaimana “bahasa” penyampaiannya. Karena faktor yang sangat penting inilah, Pondok Pesa mendidik santrinya dengan menekankan aspek bahasa sebagai mahkota yang harus dijaga. Selain itu, fungsi bahasa sebagai pembuka ilmu (kunci). Ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini akan kekal bersama dengan penulisannya. Sementara tidak dapat dipastikan bahwa orang yang membukukan “ilmu” tersebut adalah sebangsa dengan kita. Dalam arti, seseorang akan menulis, berbicara dengan masyarakatnya dengan bahasa mereka sendiri (bahasa ibu/tanah air). Dan sejauh ini, bahwa sumber ilmu pengetahuan didapatkan dari referensi berbahasa asing (Arab dan Inggris).
Dalam usaha penguasaan bahasa asing disuatu lembaga Pondok Pesantren memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebagus apapun teori yang ada, akan percuma jika tanpa kerja atau praktek nyata dengan berbicara asing tersebut. Maka diperlukan aplikasi nyata dengan berani berbicara, dengan mengeyampingkan dahulu pengucapannya salah atau benar. Karena, untuk tingkat pemula, yang diperlukan adalah “keberanian” berbicara. Bayangkan, jika seorang yang pertama kali akan belajar bahasa asing tidak berani melafadzkan satu hurufpun sebagaimana bahasa tersebut karena malu atau takut salah, tentu selamanya tidak akan berhasil.
Tapi itu tentunya tidak terlepas dari kendala dan kesulitan yang akan dijumpai. Karena, bagaimanapun mudahnya sebuah hidup ini, tak ada yang tanpa cobaan dan rintangan. Secara umum, bahwa ditemukan kesulitan dalam menguasai bahasa asing adalah lahjah (gaya bicara/intonasi). Beberapa kalangan mengatakan kesulitan dalam mempelajari bahasa asing (Inggris) diungkapkan sebagai berikut: “vocabulary is problem, it is because some words have almost the same meaning. And when we are writing or speaking, we don’t know which word we should use, for the example; thin, slender, or skinny. How can we tell the word will be appropariate. Difficult pronouncation because our tounge can’t make the sound th, j, y. It is because in our native languange we don’t have the sound.”
Tapi itu semua, bukan berarti lantas kita orang Indonesia tidak mampu berbahasa Inggris dengan baik dan dipahami oleh native speaker. Masalahnya adalah sejauh mana usaha kita untuk menguasai bahasa tersebut agar kita kuasai dengan baik dan benar. Dan usaha maksimal seperti ini tidak dimiliki oleh semua orang. Teori yang paling umum untuk menuju jalan penguasaan bahasa adalah speaking, learning, reading dan writing. Satu-satu dari bagian tersebut mempunyai karesteritik tersendiri yang tidak dapat digabungkan dalam fungsinya satu sama lain. Bahasa speaking (muhadatsah) sangat berbeda dengan bahasa tulisan atau buku. Demikian jika kita hanya terbiasa membaca literatur berbahasa asing tanpa pernah mendengar dari native speaker, sangat mungkin sekali akan terjadi salah memahami apa yang didengar. Jika langkah umum ini dipraktekkan dengan metode yang tepat, niscaya dari bangsa manapun, seseorang akan menguasai bahasa asing yang dia inginkan.
Lebih lanjut M. Aly Imron, pengasuh pondok pesantren An nakhil dalam “The Opening of Language Activty” (2/11) di pondok Pesantren An Nakhil, mengatakan bahwa dengan bahasa, seseorang akan "mampu" menakhlukkan dunia.
Dalam Al Qur'an Allah berfirman, "sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka merubah nasibnya sendiri". Jadi, tidak ada kata terlambat bagi siapa yang menghendaki perubahan untuk maju. Maka, mari kita mulai introspeksi, otokritik, menyadari diri bahwa kita masih jauh dari kesempurnaan.
eL AkhyaR